TANJUNG REDEB, PORTALBERAU- Terbatasnya jumlah pabrik kelapa sawit di Kabupaten Berau menjadi tantangan serius bagi para petani.
Kondisi ini mendorong banyak petani rakyat memilih menjual tandan buah segar (TBS) mereka ke daerah tetangga, Kutai Timur (Kutim), yang memiliki lebih banyak fasilitas pengolahan.
Ditemui di ruang kerjanya, Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Berau, Lita Handini, mengatakan fenomena tersebut telah menjadi perhatian serius pihaknya karena berdampak langsung pada harga jual TBS yang diterima petani lokal.
“Banyak petani memilih menjual ke Kutim karena di sana jumlah pabrik jauh lebih banyak. Persaingan harga juga lebih tinggi, sehingga mereka bisa mendapatkan harga yang lebih menguntungkan,” ungkap Lita.
Lanjutnya, berdasarkan data Disbun, saat ini terdapat 14 pabrik kelapa sawit yang beroperasi di Berau. Jumlah ini dinilai masih sangat minim jika dibandingkan dengan luas lahan sawit yang mencapai sekitar 150 ribu hektare.
Kata dia, idealnya, satu pabrik dibutuhkan untuk setiap 6.000 hektare lahan agar distribusi TBS lebih optimal.
“Kalau kita hitung, seharusnya sudah butuh sekitar 25 pabrik. Jadi wajar kalau sebagian hasil panen kita lari ke Kutim, yang memiliki sekitar 40 pabrik,” jelasnya.
Kondisi ini terutama dirasakan oleh petani di wilayah pesisir seperti Kecamatan Biatan dan Talisayan, yang hingga kini hanya memiliki satu pabrik pengolahan. Akibatnya, harga beli dari pabrik cenderung lebih rendah dibandingkan wilayah lain.
“Kalau di Segah, misalnya, jumlah pabriknya lebih banyak, jadi persaingan harga terjadi. Bahkan pabrik-pabrik di sana rebutan beli sawit rakyat. Otomatis harga yang diterima petani lebih tinggi,” ucapnya.
Lita tak menampik adanya keluhan dari petani terkait harga beli TBS yang dianggap tidak kompetitif di beberapa pabrik Berau. Menanggapi hal itu, pihaknya terus melakukan pembinaan agar pabrik-pabrik dapat memberikan harga yang lebih layak.
“Tidak semua pabrik sama. Ada yang membeli dengan harga bagus, ada juga yang rendah. Tapi kami mendorong semuanya agar bisa memberi harga terbaik,” ujarnya.
Disbun juga membuka pintu selebar-lebarnya bagi pihak swasta yang ingin berinvestasi membangun pabrik di Berau, dengan syarat mengikuti regulasi yang berlaku.
“Kami sangat mendukung, asalkan semua aturan dipenuhi. Karena investasi yang baik itu harus aman dan berkelanjutan,” tegasnya.
Terkait skema kemitraan, Lita menjelaskan bahwa sebagian besar petani yang telah bermitra adalah petani plasma di bawah binaan perusahaan. Sementara petani mandiri yang belum memiliki mitra didorong untuk membentuk atau bergabung ke dalam koperasi agar bisa menjalin kemitraan dengan pabrik.
“Dengan bermitra, harga TBS bisa mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah. Tapi tantangannya ada di legalitas lahan. Lokasi kebun harus clear and clean, tidak boleh berada di kawasan hutan lindung atau HGU. Ini yang sering jadi kendala,” ungkapnya.
Meski demikian, Lita tetap optimistis kondisi ini akan membaik. Ia berharap ke depan semakin banyak petani yang bermitra dan pabrik-pabrik pengolahan lanjutan juga mulai berdiri di Berau.
“Kalau bisa jangan cuma pabrik TBS, tapi juga ada pengolahan lanjutan seperti minyak goreng. Supaya nilai tambahnya lebih besar dan manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat,” kuncinya. (*/)
Penulis: Wahyudi
Editor: Dedy Warseto