TANJUNG REDEB, PORTALBERAU- Ditetapkannya status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk penyakit leptospirosis di Kabupaten Berau menjadi alarm serius bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dalam kesempatannya, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Berau, Lamlay Sarie, menegaskan bahwa ancaman ini tidak bisa dianggap sepele, terutama karena penyebarannya sangat erat kaitannya dengan sanitasi dan kebersihan lingkungan.
“Leptospirosis bukan penyakit baru, tapi kemunculannya kembali harus menjadi perhatian serius. Apalagi ini berkaitan langsung dengan perilaku hidup bersih dan sehat,” ungkap Lamlay.
Lanjutnya, status KLB tidak dapat dihapus begitu saja dalam waktu singkat. Dibutuhkan upaya menyeluruh dari hulu ke hilir, mulai dari edukasi masyarakat hingga pengawasan lingkungan yang ketat.
“Pencegahan leptospirosis sangat bergantung pada higienitas lingkungan. Maka kami terus melakukan sosialisasi dan edukasi melalui kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), baik kepada masyarakat umum maupun institusi,” ujarnya.
Salah satu pemicu penetapan KLB adalah ditemukannya kasus pertama leptospirosis di mess milik salah satu perusahaan kelapa sawit di wilayah Berau.
Menindaklanjuti temuan itu, diakuinya, pihaknya langsung melakukan pemantauan intensif serta memberikan pembinaan kepada perusahaan-perusahaan yang berpotensi terdampak.
“Kami sudah bergerak sejak awal. Penetapan KLB ini bukan hanya berdasarkan jumlah kasus, tapi sebagai bentuk kewaspadaan menyeluruh agar penyakit ini tidak menyebar lebih luas,” jelasnya.
Ia menyebut, meski baru satu kasus yang terkonfirmasi, hal itu sudah cukup menjadi dasar penetapan status KLB. Pasalnya, leptospirosis termasuk dalam daftar penyakit menular yang wajib diawasi ketat oleh pemerintah daerah hingga pusat.
Menurut Lamlay, setiap Puskesmas di Berau telah memiliki petugas surveillance yang aktif melakukan pemantauan selama 24 jam terhadap penyakit menular. Sistem pelaporan juga sudah terkoneksi langsung dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementerian Kesehatan.
“Begitu ada temuan kasus, dalam waktu kurang dari 24 jam, laporan sudah masuk ke pusat. Ini penting agar langkah penanganan bisa segera dilakukan,” ucapnya.
Penetapan status KLB juga memungkinkan pemerintah daerah untuk meminta bantuan langsung dari provinsi dan pusat, termasuk dalam hal pengadaan obat-obatan, alat kesehatan, dan tenaga medis tambahan.
“Misalnya jika kami butuh logistik medis khusus, maka dukungan bisa langsung dikirim dari pusat. Ini sangat membantu percepatan penanganan,” katanya.
Dirinya memaparkan bahwa Leptospirosis umumnya menular melalui air atau makanan yang terkontaminasi urine hewan pengerat, terutama tikus. Karena itu, masyarakat diimbau untuk lebih waspada terhadap kebersihan lingkungan, terutama di kawasan padat penduduk dan wilayah rawan banjir.
“Ini bisa dicegah. Jaga makanan tetap bersih, kelola limbah rumah tangga dengan benar, dan jangan biarkan tikus berkembang biak tanpa kendali,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa Kementerian Kesehatan telah memiliki petunjuk teknis penanganan leptospirosis, mulai dari diagnosis, tata laksana pengobatan, hingga strategi pencegahan. Pemerintah daerah diharapkan mengikuti protokol ini secara disiplin untuk memutus rantai penularan.
“Kesadaran bersama menjadi kunci utama. Dengan sinergi lintas sektor dan keterlibatan aktif masyarakat, kami optimistis KLB ini bisa segera teratasi,” kuncinya. (*/)
Penulis: Wahyudi
Editor: Dedy Warseto