TANJUNG REDEB, PORTALBERAU- Masa berlaku Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Berau Coal yang akan berakhir pada April 2025 memicu perdebatan di berbagai kalangan. Sebagian pihak menolak perpanjangan kontrak, sementara yang lain meminta penundaan, dan ada pula yang mendukung kelanjutan operasional perusahaan ini di Berau.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi III DPRD Berau, Liliansyah, menegaskan pentingnya bersikap netral dalam menyikapi pro dan kontra yang berkembang di masyarakat.
“Kita mesti menyikapi masalah perpanjangan ataupun penolakan ini dengan bijak,” ungkapnya.
Lanjutnya, PT Berau Coal merupakan objek vital nasional (OBVITNAS) yang perannya sangat dijaga oleh negara. Selain itu, perusahaan ini menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan negara melalui Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Kalimantan Timur.
“Berdasarkan informasi yang saya terima, PT Berau Coal adalah salah satu penyumbang besar di sektor pertambangan batu bara di Kalimantan Timur, dengan nilai mencapai sekitar Rp 52 triliun,” ujarnya.
Liliansyah menerangkan, selain kontribusi terhadap pendapatan negara, keberlanjutan PKP2B PT Berau Coal juga perlu dipertimbangkan dari aspek tenaga kerja dan dampak sosial yang mungkin terjadi.
Ia mengingat masa kejayaan PT Kiani Kertas Nusantara di Berau, di mana mayoritas karyawannya merupakan masyarakat setempat. Saat ini, PT Berau Coal mempekerjakan lebih dari 20 ribu tenaga kerja, termasuk pekerja lokal, sehingga keputusan terkait kontraknya harus diperhitungkan dengan matang.
“Kalau sampai tidak lanjut, dampaknya luar biasa. Terutama terkait pengangguran besar-besaran, belum lagi imbasnya terhadap keluarga para karyawan,” ucapnya.
Selain masalah ketenagakerjaan, aspek kelistrikan juga menjadi perhatian. PT Berau Coal diketahui menjadi pemasok utama bahan baku bagi PLTU Lati, yang berperan penting dalam pasokan listrik di daerah tersebut.
“Kalau Berau Coal tidak beroperasi, bagaimana dampaknya bagi kita semua? Gelap ini. Itu yang kita khawatirkan, makanya perlu dipertimbangkan dengan bijak,” tegasnya.
Liliansyah mengakui bahwa sektor pertambangan batu bara, termasuk PT Berau Coal, memberikan kontribusi signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berau. Oleh sebab itu, kontraknya perlu dipikirkan dengan serius, terlebih di saat pemerintah pusat tengah mendorong investasi ke daerah.
“Kalau investasi yang sudah berjalan ini tiba-tiba berhenti, apakah ada jaminan ada yang menggantikan dan lebih baik dari Berau Coal? Itu pertanyaannya,” katanya.
Namun, ia juga tidak menampik adanya keluhan terkait transparansi program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Berau Coal. Meski demikian, ia menilai bahwa banyak manfaat yang telah diberikan perusahaan ini bagi pembangunan di Berau.
“Kita beri apresiasi kepada teman-teman yang kritis, termasuk mahasiswa yang menyoroti PT Berau Coal. Tapi jangan hanya berpikir untuk jangka pendek. Dampaknya harus kita pertimbangkan,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya evaluasi terhadap reklamasi lahan pascatambang.
“Kita harus kritis, misalnya terkait reklamasi. Ini yang perlu kita kawal, apakah sudah dilaksanakan. Sebab, menurut aturan, yang bertanggung jawab itu pemerintah, bukan perusahaan. Tapi PT Berau Coal sudah menyetorkan dana reklamasi ke pemerintah,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa masyarakat mungkin belum menyadari bahwa DBH pertambangan turut berkontribusi terhadap APBD Berau. Oleh karena itu, keputusan terkait kontrak PT Berau Coal harus dikaji dengan bijak.
Sebagai wakil rakyat, Liliansyah merasa bertanggung jawab untuk memberikan pemahaman bahwa penolakan terhadap perpanjangan kontrak bisa berdampak besar bagi Berau. Ia berharap semua pihak dapat mempertimbangkan keputusan ini dengan matang agar tidak menyesal di kemudian hari.
“Perizinannya akan berakhir pada April 2025. Mungkin dalam perjanjian PKP2B ada peluang untuk diperpanjang, tetapi semua itu tergantung keputusan pemerintah pusat,” kuncinya.
Penulis: Wahyudi
Editor: Dedy Warseto