SAMARINDA, PORTALBERAU – Rencana Peresiden Republik Indonesia (RI), Prabowo Subianto tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mendapat tanggapan dari Akademisi Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, Suwardi Sagama.
Dirinya mengatakan, dengan berlakunya UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), maka tahun 2005 Pilkada bergeser dari dipilih oleh DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.
Peraturan ini sejalan dengan konstitusi Indonesia pasal 1 ayat 2 kedaulatan rakyat berada ditangan rakyat, bukan diwakilkan. Jadi, terdapat ikatan langsung oleh rakyat kepada yang dipilih.
“Isu keinginan dikembalikannya pilkada dipilih oleh DPRD memperlihatkan kemunduran dalam berdemokrasi. Sudah bagus lewat pemilihan langsung oleh rakyat. Masa yang bermasalah pada proses yang berlangsung, rumahnya mau dibakar,” ucapnya kepada Portal Berau pada Rabu (18/12/2024).
Suwardi Sagama pun memberikan perbandingan proses Pergantian Antar Waktu (PAW) wakil kepala daerah yang berlangsung di DPRD, yang saat ini berlaku pun tidak berjalan dengan mudah.
Bahkan ada proses pergantian Wakil Kepala Daerah pengganti berproses sampai habis masa waktu pergantian yang ditetapkan secara hukum. Akhirnya kepala daerah hanya memimpin secara tunggal.
“Bukan hanya wakil kepala daerah, Pernah juga terjadi Di Provinsi jakarta, dimana proses pergantian gubernur yang sudah sangat jelas jika gubernur berhalangan tetap, maka digantikan langsung oleh wakil gubernur untuk menjadi gubernur. Namun ada upaya juga penghalangan,” ungkapnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Demokrasi dan Masyarakat (Sideka) Fakultas Syariah UINSI Samarinda tersebut menambahkan bahwa terdapat pula sistem partai politik yang cenderung “sentralisasi”.
Keputusan partai ditentukan oleh pimpinan partai di pusat atau DPP. Maka, dirinya meragukan ketika Kepala Daerah dipilih oleh DPRD tidak sesuai dengan apanyang di harapkan masyarakat.
“Takutnya saja ketika dipilih DPRD, representasi nya bukan keinginan rakyat tapi kehendak Partai Politik,” bebernya.
Maka dari itu pemilihan langsung oleh rakyat setidaknya masih memiliki harapan bahwa kedaulatan memang berada ditangan rakyat bukan kepentingan sebagian golongan.
Suwardi menjelaskan, pemilihan langsung oleh rakyat ini pun sejalan dengan otonomi daerah, dimana rakyat di daerah yang menentukan siapa kepala daerahnya.
“Problematika pada proses yang memperlihatkan maraknya money politik bukan menjadi halangan. Namun, seharusnya pemerintah lebih meningkatkan peran lembaga berwenang seperti Bawaslu yang didalamnya terdapat sentra Gakkumdu secara komprehensif untuk melakukan tindakan ketika terjadi pelanggaran,” jelasnya.
Ia berpesan agar pemerintah jangan sampai merusak tatanan demokrasi yang sudah berjalan, alih-alih menguatkan pemerintahan. Akan tetapi, malah demokrasinya yang ingin dibatasi.
Disebutkannya, pemerintah seharusnya fokus terhadap beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam proses Pilkada yang dipilih oleh rakyat yakni, penguatan demokrasi melalui perbaikan Peraturan Perundang-undangan terkait Pilkada.
Hal itu dilakukan sebagai langkah untuk menutup ruang yang membuat kemunduran demokrasi. Penegakan hukum dijalankan dan dimaksimalkan agar perbuatan yang merusak demokrasi mendapatkan efek jera.
“Perlu adanya pemberian kewenangan partai di daerah untuk memilih siapa yang diberikan rekomendasi sebagai calon dari masing-masing partai. Sehingga, nantinya akan dipilih orang-orang yang memahami daerah tersebut,” kuncinya. (*/)
Penulis : Muhammad Izzatullah
Editor : Ikbal Nurkarim