TANJUNG REDEB, PORTALBERAU – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Berau menyoroti keterbatasan sumber daya dan peralatan yang dimiliki pemerintah daerah dalam menangani insiden kecelakaan laut, khususnya di wilayah perairan dalam.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Berau, Novian Hidayat, disela sesi wawancara mengenai kapal tenggelam di perairan Talisayan.
Menurut Novian, upaya evakuasi terhadap kapal yang tenggelam di kedalaman sekitar 46 meter mengalami kendala besar karena tidak adanya ASN (Aparatur Sipil Negara) yang memiliki lisensi Dive Master di lingkungan Pemkab Berau.
“Diver yang dimiliki Pemda saat ini hanya berlisensi advance diver, belum ada yang berstatus dive master. Padahal di kedalaman seperti itu, hanya dive master yang bisa turun dengan aman dan mengikuti prosedur penyelaman profesional,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kondisi tersebut sangat membatasi ruang gerak tim penyelamat di lapangan. Dalam kasus ini, pihaknya terpaksa berkoordinasi dengan pihak luar untuk mencari penyelam profesional yang memiliki sertifikasi dan pengalaman di kedalaman ekstrem.
“Risikonya tinggi, arus kuat, visibilitas rendah, dan ada jaring di sekitar kapal. Tanpa dive master, kita tidak bisa memaksakan ASN untuk turun, karena nyawanya juga taruhannya,” tegasnya.
Selain minimnya tenaga penyelam berlisensi tinggi, Novian juga mengungkapkan bahwa Kabupaten Berau belum memiliki fasilitas chamber (ruang hiperbarik) yang sangat dibutuhkan dalam penanganan kasus dekompresi (deco) kondisi berbahaya yang bisa terjadi pada penyelam ketika naik ke permukaan terlalu cepat.
“Chamber itu bukan hanya untuk penanganan dekompresi. Banyak manfaatnya untuk kesehatan lain seperti asam urat, gangguan saraf, hingga pemulihan cedera,” paparnya.
Menurut Novian, kurangnya fasilitas tersebut membuat penanganan darurat bagi penyelam menjadi sangat berisiko.
Saat ini, chamber terdekat berada di Tanjung Redeb, sementara untuk beberapa lokasi penyelaman seperti Talisayan atau wilayah pesisir selatan Berau, jarak tempuh menuju fasilitas tersebut bisa mencapai lebih dari dua jam.
“Kalau penyelam mengalami deco sickness, dalam waktu dua jam saja sudah bisa lumpuh, dan empat jam bisa berakibat fatal. Jadi waktu penanganan sangat krusial,” katanya.
Untuk itu, BPBD Berau mendorong pemerintah daerah agar segera memiliki ASN penyelam dengan lisensi profesional serta mengadakan fasilitas chamber sebagai bagian dari peningkatan kapasitas tanggap darurat maritim.
“Kita ini punya wilayah perairan yang luas, banyak kegiatan kelautan dan pariwisata. Sudah seharusnya Pemda memiliki ASN diver dengan lisensi rescue professional dan satu unit chamber yang bisa digunakan untuk kepentingan bersama,” ucapnya.
Selain untuk mendukung operasi penyelamatan, Novian menilai keberadaan fasilitas tersebut juga dapat menjadi penunjang sektor pariwisata selam (diving tourism) yang tengah berkembang di Berau, terutama di destinasi seperti Maratua, Derawan, dan Sangalaki.
“Fasilitas seperti chamber itu juga menjadi faktor kepercayaan bagi wisatawan selam internasional. Beberapa kali kami menerima penyelam asing yang menanyakan soal itu, karena di negara lain setiap dive center biasanya punya mini chamber,” ungkapnya.
Ia berharap, ke depan Pemkab Berau bisa menjalin kerja sama dengan pihak rumah sakit, pelaku usaha wisata, maupun pihak swasta dalam penyediaan fasilitas tersebut.
“Tidak harus dikelola pemerintah sepenuhnya. Bisa lewat kerja sama dengan rumah sakit atau pengelola wisata selam. Yang penting, ketika dibutuhkan untuk keadaan darurat, alatnya tersedia,” kuncinya. (*/)
Penulis: Wahyudi
Editor: Ikbal Nurkarim





