TANJUNG REDEB, PORTALBERAU – Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Berau, Lita Handini, menilai bahwa banjir yang kerap melanda wilayah Berau tidak bisa disebabkan oleh satu faktor saja.
Menurutnya, kondisi tersebut merupakan hasil dari akumulasi berbagai aktivitas penggunaan lahan yang telah berlangsung dalam jangka waktu panjang.
“Tidak bisa kita menyalahkan satu sektor saja. Ini akumulasi dari banyak aktivitas selama bertahun-tahun, terutama perubahan fungsi lahan yang masif,” ujarnya saat ditemui belum lama ini.
Ia menyebutkan bahwa sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit, memang menjadi salah satu pengguna lahan terbesar.
Satu izin usaha perkebunan bisa mencakup lahan hingga 6.000 hektare. Saat ini, total luasan perkebunan kelapa sawit di Berau mencapai sekitar 150 ribu hektare.
Namun begitu, Lita menegaskan bahwa bukan hanya sektor perkebunan yang berkontribusi terhadap perubahan lingkungan yang memicu banjir.
Aktivitas pertambangan, pembangunan permukiman, hingga limbah rumah tangga juga turut memengaruhi, khususnya dalam memperparah sedimentasi sungai.
“Bukaan lahan yang dilakukan lima hingga sepuluh tahun lalu mulai menunjukkan dampaknya sekarang. Sedimen yang masuk ke sungai menyebabkan pendangkalan. Saat hujan turun deras, sungai tidak mampu menampung debit air yang besar,” jelasnya.
Kondisi tersebut diperburuk oleh fenomena pasang laut akibat perubahan iklim global, yang menyebabkan banjir rob menjadi lebih sering dan parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Dulu tidak separah ini. Sekarang, air laut naik, sungai dangkal, akhirnya banjir lebih cepat dan lebih tinggi,” imbuhnya.
Situasi ini berdampak langsung pada para petani. Jika dahulu banjir dianggap sebagai siklus alami yang menyuburkan lahan, kini intensitas dan frekuensinya justru menjadi tantangan besar.
Bahkan, hingga pertengahan tahun ini, beberapa wilayah mengalami banjir hingga delapan kali.
“Contohnya di Tumbit Dayak. Masyarakat dulu terbiasa dengan banjir, tapi sekarang banjir datang sebelum tanaman sempat tumbuh dengan baik. Baru tumbuh, kebanjiran lagi,” katanya.
Hal ini menyebabkan banyak petani kehilangan semangat menanam tanaman pangan maupun komoditas lainnya.
Tomat, cabai, padi bahkan kakao tidak mampu bertahan jika tergenang air dalam waktu lama. Hanya kelapa sawit yang dinilai lebih tahan terhadap genangan.
“Karena itu banyak yang beralih ke sawit. Kalau banjir, buah bisa rusak, tapi pohonnya tetap hidup. Sementara tanaman pangan bisa habis tak bersisa,” ungkapnya.
Lita menambahkan, jika Kabupaten Berau serius menjadikan sektor pertanian sebagai tumpuan baru setelah tambang, maka penguatan infrastruktur penanggulangan banjir harus menjadi prioritas.
“Kalau ini tidak dibenahi, petani bisa kehilangan kepercayaan untuk terus bertani. Dan itu akan menjadi kerugian besar bagi daerah,” tandasnya.
Ia pun mendorong perlunya sinergi lintas sektor dan lintas instansi dalam menangani persoalan banjir secara komprehensif agar dampaknya tidak semakin meluas di masa mendatang. (*/)
Penulis : Muhammad Izzatullah
Editor : Ikbal Nurkarim