TANJUNG REDEB, PORTALBERAU– Formulasi penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) 2025 bakal tidak menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 mengenai pengupahan.
Sehingga, formulasi nantinya akan mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), salah satunya memasukkan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam standar upah.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPC Federasi Kebangkitan Buruh Indonesia (FKUI) KSBSI Berau, Ari Iswandi mengatakan, berkaitan dengan isu UMK Berau ini masih tahap pertama dari pertemuan yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Kata dia, sejauh ini Kaltim juga belum memutuskan Upah Minimum Provinsi (UMP).
“Jadi masih menunggu keputusan dari provinsi Kaltim terkait UMP, setelah itu menyampaikan kepada dewan pengupahan,” jelasnya.
Menurutnya, keputusan MK yang baru ini dilihatnya masih berpihak kepada kawan-kawan buruh mengenai pengupahan. Kemudian, hal itu juga diserahkan ke perwakilan serikat buruh, pihak APINDO yang mewakili perusahaan dan Disnakertrans. Kata dia, akan ada rapat lanjutan untuk membahas hal tersebut.
Penentuan besaran UMK juga harus menunggu penetapan provinsi yang ada di Kaltim. Untuk itu, pihaknya sebagai dewan pengupahan Berau melihat terlebih dahulu regulasi perhitungan UMP.
“Ketika UMP Kaltim sudah diumumkan, maka dewan pengupahan Kabupaten Berau melanjutkan untuk menghitung, kalau bisa harus lebih tinggi dari UMP Kaltim,” ungkapnya.
Mengenai Keputusan MK, dinilainya kembali seperti yang terdahulu yaitu berhubungan dengan komponen KHL.
“Karena di situ kalau tidak salah saya lihat ada pengupahan sektoral di masing-masing bidang usaha,” jelasnya.
Menurutnya, keputusan tersebut agak lebih baik ketimbang keputusan yang kemarin. Artinya ada keleluasaan dari tim atau dewan pengupahan khusus buruh untuk memberikan keputusan. Pihaknya akan memperjuangkan hak-hak buruh.
“Saya berharap harus ada kenaikan, apa gunanya serikat buruh kalau tidak mengupayakan kenaikan UMK sesuai kebutuhan kawan-kawan buruh. Bagi saya harus lebih baik dari yang kemarin,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua DPC FPE KSBSI Berau, Daud mengaku pada tahun-tahun sebelumnya memang sangat merugikan pekerja buruh dengan penetapan UMK di Kabupaten Berau, karena sudah banyak yang dipangkas dengan munculnya UU Cipta Kerja turunannya di PP Nomor 51 tahun 2023 termasuk penetapan upah minimum.
“Harusnya memperhatikan kebutuhan hidup layak bagi para pekerja buruh. Semenjak UU cipta kerja muncul itu hilang, otomatis berpengaruh ke nilai UMK. Makanya tahun kemarin itu ribut hingga demo, karena tidak sesuai dengan keinginan para pekerja buruh,” bebernya.
Menurutnya, dengan adanya informasi mengenai keputusan MK bahwa salah satunya mempertimbangkan KHL. Hal itu menjadi berita baik buat para pekerja buruh. Ia berharap dari dewan pengupahan ini melakukan survei KHL di Berau.
“Memang itu butuh waktu dan melibatkan BPS,” tuturnya.
Kalau berdasarkan PP Nomor 51 tahun 2023 memang menggunakan data inflasi daerah dan pertumbuhan ekonomi. Pihaknya sebagai organisasi buruh pertambangan yang tidak masuk dalam tim pengupahan ini berharap agar bisa mempertimbangkan komponen KHL, karena otomatis perubahan angkanya agak lumayan.
“Dengar dari teman-teman organisasi di pusat, di keputusan MK kemarin bahwa penetapan UMK kembali mempertimbangkan KHL tadi. Ini kan masih masa transisi dan sudah mepet waktunya, jadi upah minimum harus diputuskan bulan ini,” ujarnya.
Kata dia, kalau memang sampai dibutuhkan aksi turun ke jalan, pihaknya siap mendukung dan memperjuangkan hak-hak pekerja buruh khususnya di Kabupaten Berau. (*/)
Penulis : Wahyudi
Editor : Ikbal Nurkarim