“Tidak hanya wisata alam, Bumi Batiwakkal nyatanya juga kaya akan wisata adat dan budayanya yang beragam . Salah satunya adalah ‘Pesta Budaya Meja Panjang’. Daya tarik yang disuguhkan dalam wisata budaya, ini pun tak main-main. Keelokan tari dan ragam aksi yang sarat akan makna dan tradisi, menjadi incaran utama wisatawan lokal bahkan mancanegara”
MARTA, KELAY
Pagi itu, sekitar pukul 07.30 wita, persiapan menuju Kampung Merasa, Kecamatan Kelay, mulai dilakukan. Seorang pria berseragam rapi, tampak mengecek kondisi mobil Toyota Rush hitam berplat merah, yang terparkir di halaman Kantor Pemkab Berau. Memastikan mobil itu dalam kondisi prima, untuk melaju ke Desa Wisata, di pedalaman Kelay.
Lima orang wartawan, didampingi 2 orang dari Bagian Prokopim Pemkab Berau, yang merangkap menjadi supir, bersiap melakukan perjalanan. Tepat di pukul 08.00 wita, satu per satu menaiki mobil, supir pun memacu mobilnya dengan lihai. Sekitar 2 jam perjalanan, dilewati dengan aman, meski sesekali penumpang merasakan guncangan, akibat beberapa kondisi jalan yang belum terlapis aspal sepenuhnya.
Untuk menuju lokasi Desa Budaya, ini ada satu jembatan penghubung dari kecamatan menuju Kampung Merasa, yang harus dilalui. Cukup mengantri. Karena hari itu, Kamis (28/12/2023), adalah hari pembukaan Pesta Budaya Meja Panjang. Ramai kendaraan yang punya tujuan sama, yaitu menikmati wisata budaya, di Kampung Merasa. Selain itu, jembatan tersebut memang sedang dalam proses perbaikan.
Setelah berhasil melewati jembatan dan memarkir mobil di sekitar lokasi kegiatan, penumpang mulai berturunan. Begitu membuka pintu mobil, yang paling terasa adalah suasana kebudayaan yang sangat kental. Musik khas Dayak terdengar menggema ke berbagai sudut tempat pesta budaya digelar.
‘Kerbu’ (kayu yang diserut dan digantungkan di umbul-umbul, biasa digunakan masyarakat Dayak saat menggelar pesta adat dan sebagainya), menghiasi sepanjang jalan menuju lapangan voli, tempat acara utama akan dimulai. Begitu juga dengan spanduk bertuliskan ‘Pesta Budaya Meja Panjang Kampung Merasa’ , sengaja ditampilkan dalam ukuran besar dan mencolok, menarik pengunjung untuk berswafoto di sekitarnya.
Dua buah tenda berdiri kokoh. Di dalamnya tersusun rapi ratusan kursi dan beberapa meja lengkap dengan air mineral, jagung rebus serta buah rambutan dan kelapa di atasnya. Tamu undangan sudah duduk manis, menanti kehadiran Bupati Berau beserta rombongan, yang masih dalam perjalanan.
Terik matahari sangat terasa, meski beberapa awan hitam pekat sudah mulai mendekat. Angin sepoi-sepoi menyelamatkan tamu undangan yang mulai berkeringat dan kepanasan, pada pagi menjelang siang itu.
Bunyi musik terdengar semakin nyaring, beberapa penari wanita yang tampak sama cantiknya, mulai berlenggak-lenggok di depan pintu masuk menuju lokasi utama pesta budaya, pertanda rombongan Bupati Berau sudah tiba.
Tak lama, kursi-kursi kosong yang disiapkan untuk Bupati Berau bersama jajaran pejabat lainnya, terisi penuh. Musik pengiring mulai terdengar mengecil. Suara pembawa acara alias MC, mulai terdengar membacaan susunan kegiatan.
Atraksi sumpit yang dilakukan salah seorang warga Kampung Merasa, menjadi persembahan pertama yang disuguhkan panitia. Atraksi sumpit itu digambarkan sebagai tradisi berburu oleh Suku Dayak, yang saat ini sudah mulai terkikis jaman. Riuh tepuk tangan menyambut kala sang penyumpit, berhasil memecahkan balon yang digantungkan pada ketinggian sekitar 3-4 meter di salah satu sisi lapangan.
“Hebatnya, hoooooo ” teriak seorang pengunjung, yang duduk manis sambil mengarahkan ponselnya ke arah atraksi sumpit berlangsung.
Usai atraksi sumpit berakhir, musik yang biasa digunakan untuk mengiring tarian Khas Dayak Kampung Merasa, bersambut dengan kehadiran 10 penari perempuan, yang mulai memasuki lapangan dengan gerakan-gerakan sarat makna.
Meski sinar matahari terasa sangat menyengat, namun para penari tersebut tampak tetap berseri dengan senyuman manis yang tidak pernah lepas dari wajah mereka. Tari berpasangan yang dilakukan laki-laki dan perempuan Dayak, juga menjadi pemanis dalam mengawali pembukaan pesta budaya yang telah vakum selama dua tahun itu.
Beberapa pejabat yang hadir, termasuk Bupati, Ketua dan Wakil Ketua DPRD Berau, hingga jajaran Polsek setempat, mulai ‘menyawer’ para penari. Mereka dengan senang hati menyisipkan ‘uang jajan’ pada mahkota penari yang dihiasi manik dan taring.
Kemeriahan pembukaan Pesta Adat Meja Panjang, belum usai. Setelah beberapa tarian dimainkan, para tokoh menyampaikan pesan dan mengajak berdoa untuk kebaikan masyarakat kampung serta pengunjung dan tamu yang hadir. Diakhiri dengan pemukulan gong sebanyak tiga kali oleh Bupati, pertanda Pesta Budaya Meja Panjang, telah dimulai.
Usai berdoa, seluruh tamu undangan dan wisatawan yang hadir di kampung yang masuk dalam 300 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia Tahun 2022, itu diajak berkeliling dari RT ke RT. Ada lima jumlah RT di Kampung Merasa. Karena acara puncak dari Pesta Budaya Meja Panjang adalah berkunjung ke meja panjang yang disiapkan warga dari masing-masing RT yang ada di Kampung Merasa.
Di setiap RT, warga telah menyiapkan berbagai jenis jamuan makanan dan minuman yang bebas diambil siapa saja. Baik tamu undangan maupun wisatawan, semua boleh mencicipi hidangan dalam pesta budaya yang selalu digelar akhir tahun tersebut.
Ada berbagai jenis kue kering, kue basah, buah-buahan, makanan berat dengan aneka lauk dan minuman berbagai jenis, disiapkan di atas meja panjang.
Warga RT saling mengunjungi meja panjang yang mereka siapkan. Maknanya, tentu untuk mempererat tali persaudaraan di antara warga. Dengan makanan yang ada di atas meja panjang sebagai simbol pemersatu mereka.
“Tradisi meja panjang ini sudah dikenal sejak dulu. Walaupun memang yang sekarang kita lakukan ini, tidak lagi sama persis dengan yang dahulu. Karena sudah ada modernisasi di dalamnya. Menyesuaikan zaman dan kondisi masyarakat saat ini,” ucap Ketua RT V, Yulius, di sela-sela pesta.
Dahulu, kata Yulius, Pesta Budaya Meja Panjang tidak menggunakan atap terpal seperti yang dilakukan warga saat ini. Melainkan dengan atap daun yang telah dirangkai sedemikian rupa hingga menyerupai atap yang kokoh. Ritual-ritual yang dahulu juga selalu dilakukan ketika menggelar ‘Ladong Da’do’ (sebutan lain meja panjang dalam Suku Dayak) kini tak lagi digunakan.
“Walaupun tidak lagi sama dengan yang dulu, tapi kami tetap lakukan pesta budaya ini untuk mengingatkan ke anak cucu kami bahwa ada tradisi seperti ini yang dilakukan orangtua kita dulu,” katanya.
Transisi kepemimpinan kepala kampung lama kepada yang baru, kata Yulius, membuat persiapan pesta budaya itu kurang maksimal. Namun, ia tetap bersukacita menyambut pesta tersebut bersama para warganya.
“Yang ada di kepala kita konsepnya tidak begini. Lebih meriah dan lebih ramai lagi. Tapi karena keterbatasan waktu, hanya seperti ini yang bisa dilakukan. Mestinya persiapan itu sampai 3 bulan, tapi ini hanya 2 minggu,” bebernya. (bersambung)
