TANJUNG REDEB, PORTALBERAU- Dinas Perkebunan (Disbun) Berau terus berupaya mendorong para petani sawit mandiri di Kabupaten Berau untuk memperoleh Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) untuk selanjutnya dapat memperoleh sertifikat Indonesian Palm Oil System (ISPO). Mengingat direncanakan pada Tahun 2025 mendatang, para petani yang ingin menjual hasil panen atau Tandan Buah Segar (TBS) wajib memiliki sertifikat ISPO.
Ditemui diruangan kerjanya, Kepala Disbun Berau, Lita Handini mengungkapkan, data yang pihaknya miliki sejauh ini baru ada 129 petani sawit mandiri yang memiliki STDB.
Ia menyebut, tahun ini pihaknya menargetkan akan menerbitkan 500 STDB. Dalam kepengurusan itu pihaknya dibantu oleh berbagai NGO. Untuk mendampingi dan mendorong petani memiliki STDB.
“Karena banyak para petani yang enggan melakukan pengurusan STDB, jadi kami perlu melakukan pendampingan kepada mereka,” ungkap Lita, Kamis (24/8/23).
Lanjutnya, pada 2025 mendatang pemerintah mewajibkan semua petani sawit harus memiliki sertifikat ISPO. Jika tidak, mereka tidak bisa menjual TBS. Oleh itu, diakui Kita pihaknya tekah gencar untuk mendorong semua petani sawit memiliki STDB.
“Saat ini baik perusahaan maupun petani mandiri di Berau belum memiliki sertifikat ISPO. Sebelum memperoleh sertifikat ISPO mereka harus memiliki STDB terlebih dahulu. Jadi kita kerjakan sesuai regulasi yang ada,” tuturnya.
Lita menjelaskan, adapun kendala yang terjadi saat ini kebanyakan para petani mandiri masih bermasalah dengan lahannya. Contohnya, mereka masih banyak yang tidak memiliki surat kepemilikan lengkap dan ada juga beberapa yang lahannya termasuk dalam kawasan hutan.
“Ada juga yang sudah memiliki tanah tapi nama kepemilikan berbeda atau atas nama tanahnya belum diubah menjadi miliknya. Sehingga kami tidak bisa menerbitkan STDB. Tapi kami mencoba berkoordinasi dengan provinsi adakah terborosan yang bisa dicapai. Misal pakai surat keterangan kampung atau bagaimana,” bebernya.
Selain itu, yang menjadi kendala lain yaitu keterbatasan tenaga kerja di Disbun Berau, hanya ada dua tenaga yang melakukan pemetaan. Sebab untuk memberikan STDB harus dipetakan titik koordinatnya agar lebih jelas berapa luas lahan sawit yang dimiliki.
“Tenaga kerja kami hanya ada dua orang saja, karena keterbatasan anggaran jadi belum bisa ditambahkan. Disinilah kami memerlukan bantuan pihak ketiga untuk membantu proses penerbitan STDB itu,” terangnya.
Di lain sisi, STDB juga sebagai syarat untuk para petani sawit untuk mendapatkan bantuan dari provinsi dan pusat. Memang persyaratannya lebih banyak yang saat ini dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Alokasinya khusus untuk petani sawit mandiri yang harus memiliki kelompok dan STDB. Petani yang sudah punya STDB itulah yang diprioritaskan untuk dapat bantuan dari BPDPKS,” ucapnya.
Diakui Lita, saat ini perkebunan sawit masih menjadi prioritas dalam pengembangannya, karena menjadi salah satu penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar di Berau. Tapi pemerintah daerah menilai sawit sudah mampu mandiri. Makanya, Pemkab Berau tidak lagi memberikan bantuan pengembangan sawit.
“Semua proses pemenuhan syarat akan kita genjot. Tentunya kita berharap bantuan dari pihak ketiga untuk mendukung pelaksanaan bisa dipercepat agar lebih banyak petani sawit bisa terakomodir,” pungkasnya. (Yud/Ded/Adv)