TANJUNG REDEB, PORTALBERAU- Mediasi terus dilakukan terhadap tuntutan buruh BUMA. Bahkan Kementerian Ketenagakerjaan turun tangan agar karyawan dan perusahaan bisa mencari jalan keluar dari permasalahan hubungan industrial yang tengah terjadi.
Mediator Direktorat Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Kementerian Ketenagakerjaan, Reytman Aruan, hadir di Tanjung Redeb, untuk menyelesaikan perselisihan terkait PHK yang dilakukan BUMA kepada sejumlah karyawannya.
Dikatakan Reytma, dalam prosedur penyelesaian perselisihan hubungan kerja, sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dalam aturan itu diatur penyelesaian perselisihan hubungan kerja seperti perselisihan kepentingan, perselisihan hak, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Menurut Reytman, dalam setiap perselisihan, yang pertama harus dilakukan adalah perundingan secara bipartit.
“Jadi, antara mereka yang berselisih paham harus berunding. Jika tidak ada kata sepakat, antara pekerja dan pengusaha, maka salah satunya mencatatkannya ke Dinas Tenaga Kerja setempat. Khususnya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Berau. Setelah dicatatkan, maka Disnaker atau mediator harus mengecek dokumen yang diberikan. Dan mencari solusi terbaik,” katanya.
Lebih lanjut, kata Reytman, jika perselisihannya mengenai masalah PHK, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004, maka Disnaker setempat selaku mediator, akan memanggil kedua belah pihak yang berselisih. Mediator, menurutnya, akan menawarkan penyelesaian seperti apa yang diinginkan kedua belah pihak.
“Apakah akan memilih konsiliator, atau tidak. Itu kalau di daerah itu ada konsiliatornya. Tapi jika tidak ada konsiliator, maka bisa langsung dimediasi oleh Disnaker,” jelasnya.
Dalam proses mediasi itu, mediator akan mencari solusi-solusi. Tiap masalah yang muncul, penyelesaiannya juga berbeda. Jika terjadi PHK, juga perlu ditelusuri alasan apa saja sampai terjadi PHK.. Dalam mediasi itu nantinya, mediator akan mengeluarkan anjuran, mana kala tidak ada kesepakatan antar pihak yang berperkara.
“Mau tidak mau, mediator akan memberikan anjuran. Jika masih ada yang tidak sepakat, maka mereka yang tidak sepakat bisa membawanya ke PHI (Peradilan Hubungan Industrial). Di PHI itulah perkara mereka baru bisa diadili,” jelasnya.
Menurut Reytman Aruan, nantinya, setelah diputuskan oleh PHI dan ternyata masih ada yang tidak sepakat, maka jalan terakhir adalah ke mahkamah Agung (MA). Perlu diketahui, perkara yang bisa dibawa ke MA hanya untuk perselisihan PHK dan perselisihan hak.
“Tapi jika selisih mengenai perselisihan kepentingan, cukup hanya ke PHI, tidak bisa sampai ke MA,” jelasnya.
Dikatakan Reytman Aruan, mediator dalam menangani suatu perkara, juga harus bebas intervensi. Artinya, mediator sebagai pihak ketiga yang berperan sebagai penengah, tentu tidak memiliki kepentingan apapun selain menjadi penengah perkara.
“Jadi tidak pada tempatnya pihak yang bertikai menekan mediator,” jelasnya.
Ketika ditanya, apakah anjuran yang dikeluarkan oleh mediator memiliki kekuatan hukum? Pria yang akrab disapa Aruan ini mengatakan, anjuran yang dihasilkan mediator memang tidak memiliki kekuatan hukum. Pasalnya, anjuran itu adalah sifatnya rekomendasi.
Tetapi, Aruan mengingatkan kepada mediator, meskipun itu adalah rekomendasi atau anjuran, itu harus dijadikan keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, ketika membuatkan anjuran, harus benar-benar berbasis dari aturan, dan teori-teori yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Sehingga, tidak asal dikeluarkan anjurannya. Meskipun tidak berkekuatan hukum, tapi anjuran yang dikeluarkan benar-benar berkualitas dan independen. Dan bisa dipertanggungjawabkan baik secara moral, administratif, maupun secara legal,” tuturnya.
Sementara itu, dikatakan Aruan, mediator yang mengeluarkan anjuran, diharapkan tidak melakukan revisi. Jangan sampai ketika dikeluarkan anjuran, mediator kemudian melakukan revisi.
Pasalnya hal ini akan melemahkan anjuran yang dianggap sudah jadi keputusan pada suatu perkara yang ditangani. Revisi, menurutnya, bisa dilakukan apabila dalam penulisannya terdapat kesalahan penulisan kata, dan kekurangan kalimat yang mengubah suatu makna.
“Itu tidak jadi masalah direvisi. Tapi kalau terkait substansi maupun pertimbangan, itu tidak boleh. Kalaupun anjuran yang dikeluarkan tidak disepakati, silakan dibawa ke PHI,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Disnakertrans Berau, Masrani mengatakan, dari kesimpulan mediasi antara BUMA dan serikat buruh yang mewakili 9 karyawan yang mendapat PHK, sejauh ini masih dicari jalan yang terbaik. Harapannya, dari pihak pengusaha bisa menerima, dan serikat buruh serta pekerja yang di PHK juga dapat menerimanya.
Menurut Masrani, selaku instansi terkait memberikan saran agar perselisihan itu hanya sampai di kantor Disnaker Berau selaku mediator saja. Dia berharap tidak sampai PHI. “Karena jika ini sampai ke PHI, selain jaraknya jauh dan memakan waktu. Juga membutuhkan biaya, yang saya kira cukup besar. Mudah-mudahan ada kesepahaman antar kedua pihak ini,” terangnya.
Diakui Masrani, dari pihak BUMA, sementara bersikukuh tidak menerima tuntutan dari pihak buruh. Adapun tuntutan yang diberikan, yakni 9 orang yang di PHK dapat kembali dipekerjakan. Untuk diketahui, ada 14 pekerja yang di-PHK. Lima orang di antaranya menerima PHK, dan 9 orang lainnya belum menerima keputusan PHK.
“Proses masih berjalan. Kami tetap menganjurkan jalan terbaik. Misalnya, pihak perusahaan kembali menerima pekerja itu, maka perselisihan selesai. Begitu juga sebaliknya,” pungkasnya. (*)
Pemkab Melakui DPPKBP3A Berau Upayakan Tekan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
TANJUNG REDEB, PORTALBERAU- Total kasus kekerasan perempuan di Kabupaten Berau sebanyak 17 kasus. Sedangkan, kekerasan terhadap anak lebih tinggi, yakni...