TANJUNG REDEB, PORTALBERAU– Dinas Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (DPPKBP3A) Berau mengakui bahwa kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT di Berau masih kurang termonitor.
Plt Kepala DPPKBP3A Berau, Dahniar Rahmawati, menjelaskan masih belum dapat mengatakan bagaimana perkembangan kasus KDRT. Sebab pelaporan pada mereka hanya berada di antara angka satu maupun dua.
Seperti yang tercatat pada Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Berau. KDRT di tahun 2019 hanya terdapat 1 kasus, tahun 2020 sebanyak 5 kasus dan di tahun 2021 hingga Agustus sebanyak 2 kasus.
“Kami mencatat hanya sedikit, tapi sesuai data dari pengadilan agama berau, yang saya ingat menurut laporannya di 2019 ada sebanyak 31 perkara. Tidak ada laporan sebanyak itu yang masuk kesini,” jelasnya.
Dengan adanya perbedaan seperti itu, tentu menimbulkan bahwa KDRT masih sulit untuk diketahui. Ada pula, stereotip yang mungkin membuat korban KDRT takut untuk melaporkan kejadian, bisa jadi sebuah tindakan pidana. Tetapi hal itu, disanggah olehnya.
“Jadi agak susah kalau mau memastikan adanya peningkatan atau tidak,” bebernya.
Dahniar melanjutkan, banyaknya faktor KDRT didominasi permasalahan ekonomi. Biasanya jika ada tekanan pada ekonomi rendah, tidak jarang ada emosi yang dilampiaskan pada fisik perempuan maupun anak.
Namun, yang sedang marak pula adalah digitalisasi yang menyebar luas. Media sosial juga sangat berpengaruh. Dan, prilaku kekerasan yang sudah lazim pada rumah tangga seseorang.
Jika secara general, adanya kasus KDRT yang tidak terlihat adalah banyaknya perempuan yang masih malu untuk melaporkan, dan merasa itu sebuah aib. Juga, ketika perempuan merasa tidak memiliki penghasilan, sehingga akan bertahan dengan suami, walaupun hidup dalam kekerasan.
“Kemarin baru-baru ini ada yang melapor ke kami, dan ada pengaruhnya juga ditengah pandemi Covid-19,” ungkapnya.
Tambahnya, Kadang ketika pihaknya turun ke lapangan, tidak sedikit ada laporan dari pihak tetangga terdekat, bahwa di kampung mereka atau di lingkungan tersebut ada kasus yang terjadi. Walaupun ada dugaan seperti itu, pihaknya tidak bisa menindaklanjuti.
“Kalau KDRT ini, korban harus melapor terlebih dahulu. Tidak bisa ketika hanya mendengar desas-desus saja, dan tidak bisa langsung terjun begitu saja,” jelasnya.
Ia mengatakan, bahwa kasus KDRT tidak terpusat pada satu lingkungan atau satu Kecamatan, semuanya dapat terjadi potensi, walaupun besar penyebabnya adalah ekonomi. Pihaknya telah melakukan upaya pencegahan yaitu berupa pusat bimbingan keluarga (Puspaga).
Tetapi, yang paling penting adalah bagaimana meningkatkan kualitas perempuan agar berdaya di rumah tanggaa yaitu bagaimana menciptakan ladang penghasilan sendiri, agar tidak bergantung pada suami.
“Berpenghasilan sendiri itu bukan berarti juga harus dituntut untuk bekerja kantoran” tandasnya. (Rzl/Ded)