TANGGAL 2 Maret 2020 menjadi titik awal terdeteksi masuknya COVID-19 ke Indonesia. Virus yang satu ini memang sudah ramai dibicarakan sebelumnya, sebab sifatnya yang mudah tersebar dan sudah memasuki beberapa negara hanya dalam hitungan bulan. COVID-19 mencuat menjadi isu panas, arus informasi mulai tak terbendung, apalagi setelah masyarakat mengetahui bahwa virus ini sudah masuk ke tanah air.
Bertepatan dengan masuknya virus ini, maka presiden mengutus seorang juru bicara untuk memberikan pernyataan terkait COVID-19. Achmad Yurianto, Direktur Jenderal Pencegahan & Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, ditunjuk menjadi juru bicara pemerintah. Ia bertugas dalam memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pencegahan penularan COVID-19 sesuai sumber terpercaya seperti badan kesehatan dunia WHO, serta melaporkan data harian COVID-19 di Indonesia.
Seiring perkembang atas pemberitaan dan langkah-langkah pemerintah dalam penanganan COVID-19, Juli 2020, Wiku Adisasmito menggantikan posisi Yuri sebagai juru bicara pemerintah terkait COVID-19 di Indonesia. Perubahan formasi juru bicara pemerintah terus diperbaharui hingga pada Desember 2020, seiring dengan masuk dan disebarkannya vaksin COVID-19, maka diutus 4 juru bicara lagi untuk fokus pembahasan yang berbeda-beda.
Juru bicara sebelumnya, Wiku Adisasmito fokus dengan pembahasan sains dari vaksin. Kemudian ada Siti Nadia Tarmizi selaku Direktur P2P Kemenkes, Lucia Rizkia Andalusia selaku Direktur Registrasi BPOM, serta Bambang Herianto dari PT Bio Farma, dengan fokus membangun pemahaman yang tepat terkait kebijakan dan isu-isu terkait. Ketiga utusan ini juga berfokus dalam membangun partisipasi masyarakat untuk menyukseskan program vaksinasi COVID-19 dan penanganan COVID-19. Terakhir, dr. Reisa Broto Asmoro, selaku juru bicara dan duta perubahan perilaku, dengan fokus memberikan penerangan perilaku hidup sehat yang berbasis pencegahan, dan informasi mengenai vaksinasi.
Juru bicara menjadi salah satu instrumen penting bagi pemerintah, apalagi terkait isu krisis yang ada. Kepiawaian serta etika seorang komunikator sangat diperlukan, sebab adanya tanggung jawab yang dibawa oleh seorang public speaker yang dalam pembahasan ini adalah juru bicara pemerintah. Mulai dari menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat, membangun partisipasi publik dalam kegiatan penangan COVID-19 serta vaksinasi, dan yang terpenting adalah untuk menjadi representasi yang baik bagi pemerintah.
Dalam buku Etika Profesi Public Relation oleh Syaifuddin Zuhri, keraf (1993) menyatakan bahwa ada beberapa prinsip etika profesi, sebagai berikut :
1. Tanggung jawab
Setiap penyandang profesi harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap profesinya. Tanggung jawab yang disandang adalah terhadap pelaksanaan pekerjaan, dampak dari pelaksanaan pekerjaan, serta dampak dari pelaksanaan fungsinya.
2. Kebebasan
Seorang profesional memiliki kebebasan dalam menjalankan dan memiliki komitmen, asal bisa bertanggung jawab dan mengikuti aturan standar sesuai etika profesi yang dimilikinya.
3. Kejujuran
Jujur dan merasa hormat terhadap profesi yang disandang, dan memiliki visi untuk terus berkembang dalam mencapai kesempurnaan di bidang keahliannya.
4. Keadilan
Seorang profesional wajib mengetahui hak dan kewajiban yang dimilikinya, serta menjalankan profesinya sesuai dengan hak dan kewajiban tersebut.
5. Otonomi
Seorang profesional memiliki kebebasan selama menjalankan profesinya sesuai keahlian, pengetahuan, dan kemampuannya. Memiliki tanggung jawab pada organisasi atau departemen dimana ia berada dan terbebas dari campur tangan pihak lain.
Kepiawaian salah satu juru bicara pemerintah terkait COVID-19, Achad Yurianto, diakui masyarakat hingga lembaga yang berhubungan dengan public relations. Iconomics Research and Consulting memberikan penghargaan PR Person of The Year kepada Yuri dengan 9 kriteria penilaian dari 3 pilar perusahaan, yakni commercial, organizational, dan social pillar. Sebagai juru bicara pertama pemerintah terkait COVID-19, Yuri menjadi salah satu ikon penting yang selalu ditunggu tunggu masyarakat. Setiap hari pada pukul 17.30 ia muncul di televisi nasional mengabarkan data terbaru terkait COVID-19 dan menyampaikan informasi terbaru mengenai cara penanggulangan virus pandemi ini.
Dalam praktiknya, sesuai acuan Kode Etik Professional Humas, seorang Humas professional dituntut untuk mengeluarkan statement yang bersifat negatif, kontroversial, dan menimbulkan polemik. Namun, seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, Yuri tidak dapat terhindar dari kontroversi yang disebabkan oleh kesalahannya dalam pemilihan kata di salah satu konferensi pers penanganan COVID-19. Kontroversi ini terkait pernyataan ‘Si Kaya dan Si Miskin’. Dikutip dari BBC.com, dalam konferensi penanganan COVID-19 pada 27 Maret 2020 tersebut dinilai menyudutkan ‘Si Miskin dan ART’. Terkait kontroversi ini Yuri mengonfirmasi, salah satunya melalui perantara media detik.com, bahwa ia tidak menyudutkan pihak manapun, justru ia ingin masyarakat mampu bisa membantu yang kurang mampu agar kehidupan perekonomian selama masa pandemi bisa berjalan lancar.
Mengemban tanggung jawab sebagai public speaker dan representatif dari sebuah lembaga bukanlah hal yang mudah. Terlebih di era yang sudah maju, di mana masyarakat sudah bisa memilih berita yang ingin mereka dengar, dan kritis terhadap informasi yang diterima. Namun, seiring perjalanan dan waktu yang ditempuh oleh seorang komunikator, maka kredibilitas dan pengalaman pun akan terus terpupuk. Pemahaman akan strategi serta etika profesi yang baik juga turut meningkatkan kualitas seorang public speaker dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya.
Penulis : Adinda Delfriyani (Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Mulawarman)