TANJUNG REDEB,PORTALBERAU – Pemerintah Kabupaten Berau terus memperkuat posisi komoditas kakao sebagai salah satu produk unggulan daerah.
Melalui Dinas Perkebunan (Disbun), berbagai strategi pengembangan kini digenjot, mulai dari peningkatan kualitas produksi hingga penambahan areal tanam.
Kepala Disbun Berau, Lita Handini, mengatakan bahwa pengembangan kakao menjadi perhatian serius karena tingginya minat pasar internasional terhadap produk asal Berau.
Penambahan lahan menjadi salah satu fokus utama, di mana pemerintah daerah menargetkan perluasan sekitar 100 hektare setiap tahun.
Lahan tambahan diberikan untuk petani yang benar-benar siap, terutama yang memiliki lahan bebas banjir.
“Kami juga lengkapi mereka dengan alat fermentasi, pupuk, dan pelatihan agar kualitasnya terjaga,” ujarnya.
Data Disbun mencatat, saat ini luas kebun kakao di Berau mencapai 1.037 hektare dengan produksi sekitar 800 ton per tahun.
Kecamatan Sambaliung menjadi sentra terbesar dengan 479 hektare, disusul beberapa wilayah lain seperti Kelay, Segah, Long Lanuk, Merasa, dan Birang.
Tingginya potensi ini membuat kakao Berau mulai mencuri perhatian pasar global. Salah satu pencapaian besar adalah kerja sama dengan perusahaan cokelat premium asal Prancis, Valrhona, yang akan melakukan ekspor perdana biji kakao dari Berau ke Eropa.
“Insyaallah Desember kami mulai ekspor dengan Valrhona. Memang baru sekitar 20 ton, tapi bagi petani kami ini langkah sangat besar,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa Valrhona menerapkan standar ketat sebelum menjalin kerja sama.
Perusahaan tersebut melakukan pemantauan langsung ke kebun dan memastikan tidak ada praktik budidaya yang berkaitan dengan deforestasi.
“Mereka sangat ketat soal keberlanjutan. Kakao kita tidak boleh terindikasi merusak hutan, dan bahan kimia yang dipakai harus minimal,” jelasnya.
Selain pengecekan lapangan, sampel biji kakao Berau juga diuji di laboratorium Singapura untuk memastikan tidak mengandung logam berat. Setelah dinyatakan aman, ekspor akan difasilitasi melalui PT Katulistiwa Agro Serasi Sentosa (KASS), pengumpul biji kakao milik masyarakat lokal.
Meski potensi besar, tantangan tetap ada. Harga kakao beberapa waktu terakhir mengalami fluktuasi tajam, dari sempat menyentuh Rp120 ribu per kilogram kini turun ke kisaran Rp70–Rp100 ribu.
Kondisi ini membuat sebagian petani beralih ke komoditas lain seperti sawit. Lita mengakui penurunan itu cukup berdampak.
“Dulu Kampung Semanting itu kebun cokelat semua, sekarang tinggal sedikit,” katanya.
Untuk menjaga motivasi petani, Disbun juga berharap setiap ekspor kakao dilakukan dengan seremoni resmi agar petani merasa dihargai dan bangga atas produk mereka.
“Bupati sempat bilang, ekspor harus dilaunching supaya petani bangga. Biar mereka tahu kerja kerasnya sampai ke luar negeri,” kuncinya. (*/)
Penulis : Muhammad Izzatullah
Editor : Ikbal Nurkarim





