SAMBALIUNG, PORTALBERAU– Proses mediasi sengketa lahan yang terjadi di Kampung Suaran, Kecamatan Sambaliung, kembali digelar oleh pihak kecamatan.
Mediasi ini mempertemukan pihak-pihak yang saling mengklaim kepemilikan atas lahan seluas kurang lebih 7,5 hektare, yang menjadi sumber konflik sejak beberapa tahun terakhir.
Kegiatan mediasi dipimpin langsung oleh Ketua Tim Mediasi sekaligus Kepala Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Kecamatan Sambaliung, Didi Mulyadi, mewakili Camat Ahmad Juhri.
Dalam keterangannya, Didi menjelaskan bahwa konflik ini berakar pada tumpang tindih klaim kepemilikan yang bersumber dari beberapa dokumen yang berbeda tahun penerbitan dan statusnya.
“Awalnya, Pak Haji Masrani memiliki surat garapan atas lahan tersebut sejak tahun 1993. Namun, belakangan muncul dokumen-dokumen baru yang diterbitkan oleh aparat kampung, mulai dari RT hingga Kepala Kampung, yang kemudian didaftarkan dalam bentuk proyek nasional oleh pihak ketiga, yakni PT SN,” ungkap Didi.
Diketahui, di atas lahan yang diklaim oleh Masrani telah terbit sejumlah sertifikat tanah atas nama pihak lain. Bahkan, menurut Didi, setidaknya sudah ada 10 sertifikat yang terbit di atas lahan tersebut, dan beberapa di antaranya telah didirikan bangunan.
“Dengan kondisi ini, kami dari pihak kecamatan mengimbau agar aparat kampung tidak melanjutkan proses atau tindakan administratif apapun terkait lahan yang disengketakan. Ini masih dalam proses mediasi dan belum ada keputusan final,” tegasnya.
Lebih lanjut, Didi menuturkan bahwa upaya mediasi bukan kali pertama dilakukan. Bahkan sudah lebih dari lima kali mediasi digelar, baik di tingkat kampung maupun di kepolisian, namun hingga kini belum membuahkan hasil.
“Dalam mediasi, tidak ada yang menang atau kalah. Kami hanya mencoba memberikan pemahaman, masukan, dan mencari jalan tengah agar konflik tidak berlarut-larut. Tapi hasilnya ya, kedua pihak masih bersikukuh dengan klaim masing-masing,” ujarnya.
Menurut Didi, pemilik lahan, Masrani, sebenarnya telah menawarkan sebagian lahan kepada pihak yang telah menempatinya sebagai bentuk solusi kekeluargaan. Namun tawaran tersebut belum direspons dengan baik oleh pihak lainnya.
“Kalau ini tidak bisa disepakati secara musyawarah, bukan tidak mungkin konflik ini akan berakhir di meja hijau. Kami dari kecamatan berharap hal itu tidak terjadi, karena proses hukum berisiko membawa dampak psikologis dan ekonomi bagi semua pihak,” tuturnya.
Pihak Kecamatan Sambaliung sendiri masih membuka ruang mediasi dan berharap aparat kampung bisa berperan aktif sebagai penengah, bukan justru memperkeruh suasana dengan penerbitan dokumen baru tanpa pertimbangan menyeluruh.
“Jangan ada tindakan sepihak dari RT atau Kepala Kampung. Ini masalah yang kompleks, dan kita harap bisa selesai tanpa harus ke pengadilan,” tutupnya.
Sementara itu, Masrani selaku pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan sejak tahun 1993, juga menyampaikan kekecewaannya karena mediasi yang sudah dilakukan berulang kali belum menemui hasil.
“Kami sudah lima kali mediasi, tapi mereka tetap ngeyel. Kita ini maunya kekeluargaan, tapi sepertinya mereka tetap memaksakan untuk memiliki lahan itu, bahkan mengusulkan sertifikat,” terangnya.
Ia menambahkan, lahan yang diklaim miliknya memiliki luas 7,5 hektare dan dikuatkan dengan dokumen surat garapan serta surat izin tambang galian C terpisah yang telah dikeluarkan melalui SK Bupati.
“Sertifikat yang sudah terbit saya belum tahu pastinya berapa hektare karena pihak-pihak yang menerbitkan ini agak tertutup. Tapi kami siap menempuh jalur hukum jika memang mediasi ini tidak menemukan jalan keluar,” tegas Masrani. (*/)
Penulis: Wahyudi
Editor: Ikbal Nurkarim