TANJUNG REDEB, PORTALBERAU– Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Berau kembali menggelar program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) untuk komoditas kakao, sebagai upaya berkelanjutan dalam meningkatkan kapasitas petani menghadapi berbagai tantangan budidaya kakao secara terpadu dan ramah lingkungan.
Tahun ini, pelatihan difokuskan di dua kampung, yakni Kampung Suaran dan Kampung Lesan Dayak, yang merupakan sentra utama produksi kakao di Kabupaten Berau.
Dalam kesempatannya, Kepala Bidang Perlindungan Disbun Berau, Heri Suparno, mengatakan bahwa SLPHT di Suaran sudah menjadi agenda rutin selama tiga tahun terakhir. Sementara di Lesan Dayak, kegiatan ini baru kembali dilaksanakan setelah beberapa tahun vakum.
“Setiap kampung diisi satu kelas dengan 25 peserta. Pelatihan dilakukan selama 14 pertemuan setiap minggu, sehingga pembelajaran berlangsung intensif dan berkelanjutan,” ungkapnya.
Lanjutnya, pemilihan kedua kampung tersebut bukan tanpa pertimbangan. Selain potensi lahan dan produktivitas yang tinggi, masyarakat di wilayah ini dinilai cukup antusias dan terbuka terhadap pengembangan kakao.
Bahkan, kata dia, Kampung Suaran disebut memiliki luas kebun kakao dan tingkat produktivitas tertinggi di Berau saat ini.
Pelaksanaan SLPHT tahun ini juga mengacu pada kesepakatan antara Disbun dengan pemerintah kampung melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU).
Namun, karena adanya efisiensi anggaran, hanya dua kelas yang dibuka. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya jumlah kelas bisa mencapai empat.
“Para pemateri berasal langsung dari internal Disbun dan semuanya telah memiliki lisensi sebagai pemandu lapang. Jadi kualitas pelatihan tetap terjaga meski kelas dibatasi,” ujarnya.
Ia juga mengakui, lebih dari sekadar pelatihan teknis, SLPHT juga menjadi sarana untuk menyegarkan kembali pengetahuan petani tentang pengendalian hama terpadu, teknik budidaya berkelanjutan, hingga penggunaan bahan organik yang minim dampak terhadap lingkungan.
Namun demikian, tantangan di lapangan tetap besar. Salah satunya adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dan minimnya ketersediaan sarana produksi pertanian seperti bibit unggul, pupuk, serta pestisida yang sesuai.
“Banyak petani sudah lama tidak ikut pelatihan, jadi pengetahuan teknis mulai hilang. Di sisi lain, akses terhadap bibit berkualitas dan bahan pendukung juga belum merata,” ucapnya.
Kendati demikian, kondisi tersebut diperparah dengan frekuensi banjir yang semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Jika sebelumnya banjir hanya terjadi lima tahun sekali, kini hampir setiap bulan wilayah kebun di bantaran sungai terendam, membuat produktivitas kakao semakin rentan terganggu.
“Kondisi ini tentu jadi perhatian serius, karena sebagian besar kebun berada di dekat sungai dan selalu terdampak,” katanya.
Ia menambahkan, sebelumnya, Disbun juga rutin menggelar sekolah lapang untuk komoditas lada. Namun, tahun ini program tersebut ditiadakan karena keterbatasan anggaran.
Meski begitu, pihaknya menegaskan bahwa komoditas lada tetap menjadi salah satu fokus pengembangan perkebunan di Berau, mengingat potensi pasar dan nilai ekonominya yang tinggi.
“Kami berharap ke depan anggaran bisa kembali ditingkatkan, agar sekolah lapang bisa menyasar lebih banyak komoditas dan wilayah, termasuk lada,” kuncinya. (*/)
Penulis: Wahyudi
Editor: Ikbal Nurkarim