TANJUNG REDEB, PORTALBERAU – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari Badan Gizi Nasional (BGN) mulai menyasar Kabupaten Berau.
Namun, dari hasil pendataan awal pemerintah pusat, hanya 13 kampung yang ditetapkan sebagai wilayah terpencil penerima program tersebut.
Dinas Pangan Kabupaten Berau menilai data tersebut belum mewakili kondisi faktual di lapangan.
Karena itu, Berau mengusulkan tambahan 31 kampung agar juga mendapat perhatian dalam program ini.
Dalam kesempatannya, Kepala Dinas Pangan Berau, Rakhmadi Pasarakan, mengungkapkan bahwa penetapan BGN masih perlu disesuaikan dengan kondisi geografis Kabupaten Berau yang memiliki banyak kampung dengan akses sulit, terpencar, dan jauh dari pusat distribusi pangan.
“Menurut kami masih kurang lengkap. Karena itu kami usulkan kembali 31 kampung lain di delapan kecamatan agar juga bisa masuk dalam daftar penerima Makan Bergizi Gratis,” ungkapnya.
Menurutnya, pendataan awal didasarkan pada SK Badan Gizi Nasional yang mencantumkan 13 kampung sebagai wilayah terpencil, terdiri dari 12 kampung di Kecamatan Kelay dan beberapa kampung di Kecamatan Pulau Maratua.
Namun, kata dia, setelah dilakukan uji petik bersama Badan Pangan Nasional (Bapanas) di Maratua, terdapat banyak wilayah lain yang seharusnya memenuhi kategori terpencil.
Ia menyebut, sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaksanaan MBG, setiap wilayah terpencil harus memiliki dapur Satuan Pelaksana Pangan Gizi (SPPG) sebagai tempat produksi dan distribusi makanan bergizi.
“Misalnya di Long Lamcin, penerimanya hanya sekitar 20 orang. Jadi dapurnya harus berada di kampung itu, karena maksimal jarak penerima manfaat dari dapur hanya 30 menit,” terangnya.
Dirinya menuturkan Untuk wilayah dengan kampung berdekatan, dapur dapat digabung, seperti, Kampung Sidobangan dengan Long Gie dan Kampung Mapulu dengan Panaan.
Namun, sebagian besar kampung tetap harus memiliki dapur sendiri karena jarak antarwilayah sangat jauh.
Di Kecamatan Kelay, dari total 14 kampung, 12 kampung akan memiliki dapur MBG sendiri, agar distribusi makanan tidak terkendala akses.
Program MBG juga diarahkan untuk memanfaatkan pangan lokal yang tersedia di kampung. Hal ini disebut dapat sekaligus membuka peluang ekonomi baru bagi warga sebagai penyedia bahan baku untuk SPPG.
“Kalau jumlah penerimanya sedikit, kebutuhan pangan juga sedikit. Tapi dari situ masyarakat dapat melihat peluang untuk menjadi pemasok,” ujarnya.
Di Kecamatan Maratua, perkembangan budidaya sayuran hidroponik dinilai cukup baik dan berpotensi menjadi sumber pangan lokal ke depan.
“Hampir semua kampung di Maratua sudah memiliki hidroponik. Kami lihat perkembangannya bagus dan bisa terus ditingkatkan,” ucapnya
Meski begitu, ia mengakui bahwa biaya satu porsi makan di wilayah terpencil kemungkinan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Harga rata-rata MBG di kota sekitar Rp 15 ribu per porsi, namun untuk daerah terpencil masih menunggu penetapan pagu anggaran khusus.
Yang terpenting, tegasnya, standar gizi tetap harus dipenuhi tanpa merugikan pihak pelaksana. Dengan adanya usulan tambahan 31 kampung, maka total kampung yang diharapkan menerima program MBG menjadi 44 kampung.
“Harapan kami, tidak ada kampung yang tertinggal dalam pemenuhan gizi hanya karena akses yang sulit,” kuncinya. (*/)
Penulis: Wahyudi
Editor: Ikbal Nurkarim





