TANJUNG REDEB, PORTALBERAU– Harga Eceran Tertinggi (HET) beras kembali menjadi sorotan di Kabupaten Berau. Pasalnya, ketentuan harga yang ditetapkan pemerintah pusat dinilai tidak sesuai dengan realitas biaya produksi dan distribusi yang harus ditanggung para pelaku usaha di daerah.
Kepala Dinas Pangan Kabupaten Berau, Rakhmadi Pasarakan, menegaskan bahwa penerapan HET beras di zona Kalimantan, khususnya Berau, perlu mendapat perhatian serius.
Menurutnya, harga yang ditetapkan justru tidak sejalan dengan ongkos produksi maupun biaya distribusi yang semakin tinggi. HET yang berlaku saat ini, terutama untuk wilayah Kalimantan dan Kabupaten Berau, sudah tidak relevan dengan kondisi nyata di lapangan.
“Misalnya Harga gabah 6.500, kemudian total biaya petani sebesar 13.000 untuk produksi dan HETnya 13.100,” ujar Rakhmadi, Kamis (21/8/25).
“Ini harus menjadi atensi bersama agar pengusaha tidak ragu untuk menyalurkan beras dan kelangkaan tidak terjadi,” sambungnya.
Ia menambahkan, penerapan HET secara menyeluruh justru berpotensi mematikan semangat para petani maupun pengusaha lokal. Bahkan, kondisi tersebut telah berdampak langsung pada program distribusi beras bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Berau.
“Kami sudah tidak lagi menyalurkan beras ASN karena harga HET yang ditetapkan tidak masuk dalam kalkulasi biaya. Kalau dipaksakan, petani maupun pengusaha bisa merugi besar,” jelasnya.
Rakhmadi mencontohkan situasi beras premium yang diimpor dari Pulau Jawa. Berdasarkan aturan, HET beras premium di Jawa hanya Rp12.900 per kilogram. Namun, ketika sampai di Berau, biaya distribusi membuat harga riil menjadi jauh lebih tinggi.
“Kalau beras premium dari Jawa, dengan HET Rp12.900, tentu tidak akan bisa menutup modal begitu masuk ke Berau. Biaya transportasi dan logistik jelas membuat harga di sini lebih mahal,” ungkapnya.
Kondisi ini, menurut Rakhmadi, berisiko besar bagi keberlangsungan distribusi beras di daerah. Bila HET dipaksakan tanpa mempertimbangkan realita biaya distribusi, bukan tidak mungkin pengusaha memilih menghentikan suplai.
“Potensi pengusaha memberhentikan distribusi beras itu sangat berat. Kita harus realistis, jangan sampai aturan malah membuat pasokan beras berkurang dan masyarakat yang menanggung akibatnya,” tegasnya.
Untuk itu, Dinas Pangan Berau mendorong adanya evaluasi ulang terkait penetapan HET di daerah. Ia menilai, kebijakan seharusnya lebih fleksibel dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan biaya distribusi antarwilayah. Pihaknya pun berharap pemerintah pusat bisa membuka ruang evaluasi.
“Tidak bisa dipukul rata antara Jawa dengan Kalimantan, karena kondisi distribusi dan biaya jelas berbeda. Harus ada kebijakan yang lebih adaptif,” kuncinya. (*/)
Penulis: Muhammad Izzatullah
Editor: Dedy Warseto