TANJUNG REDEB, PORTALBERAU – Aktivitas ekspor kerapu hidup dari Kabupaten Berau mengalami penurunan drastis sepanjang semester pertama tahun 2025.
Meski potensi komoditas ini masih tinggi, gangguan akses pengiriman menjadi faktor utama yang menghambat laju ekspor.
Dalam kesempatannya, Sekretaris Dinas Perikanan (Diskan) Berau, Yunda Zuliarsih, mengungkapkan bahwa hingga pertengahan tahun ini, volume ekspor kerapu hidup dari Berau baru mencapai sekitar 30.000 kilogram.
Menurutnya, jumlah tersebut terpaut jauh dari capaian tahun 2024 yang mampu menembus angka 133.000 kilogram dalam setahun penuh.
“Volume ekspor kita turun tajam. Masalah utamanya ada pada jalur pengiriman laut yang hingga kini belum dapat beroperasi seperti biasa,” ungkapnya.
Ia menyebut, beragam jenis kerapu berkualitas ekspor seperti kerapu Sunu, Lumpur, Cantang, Tiger, dan Macam, selama ini menjadi andalan nelayan Berau untuk pasar internasional, khususnya Hong Kong.
Namun, sejak awal tahun, pengiriman melalui jalur laut ke negara tujuan terhenti total.
Kapal pengangkut dari Hong Kong yang biasanya rutin bersandar di perairan Batu Putih, Berau, hingga kini tidak dapat kembali berlayar.
Bahkan kapal tersebut telah berada di lokasi sejak 6 Mei 2025, namun tak kunjung melakukan aktivitas bongkar muat.
“Biasanya ekspor dilakukan melalui laut, tapi sejak awal tahun ini tidak bisa dilakukan. Kapal pengangkut dari Hong Kong sudah standby di Batu Putih sejak Mei lalu, dan belum bisa melanjutkan operasionalnya hingga sekarang,” terangnya.
Sebagai solusi sementara, jalur pengiriman dialihkan melalui udara. Namun metode ini menghadirkan tantangan tersendiri.
Selain biaya operasional yang jauh lebih tinggi, kapasitas pengangkutan juga sangat terbatas.
“Kalau lewat pesawat, satu koli hanya bisa mengangkut sekitar 25 kg, dan itu pun sebagian besar terisi air. Jadi hanya sekitar 5 kg ikan hidup yang bisa dikirim dalam satu koli,” ucapnya.
Dampak dari keterbatasan jalur ekspor ini pun mulai dirasakan oleh para nelayan.
Harga jual kerapu hidup yang sebelumnya bisa mencapai Rp 250 ribu per kilogram, kini anjlok menjadi sekitar Rp 150 ribu per kilogram.
Penurunan harga ini membuat nelayan merugi, karena tidak sebanding dengan tingginya biaya produksi dan pemeliharaan ikan.
Tak hanya itu, penundaan pengiriman juga menyebabkan kerugian akibat kematian ikan yang tak sempat diekspor.
Yunda menyebut, laporan dari sejumlah kelompok nelayan menunjukkan bahwa sekitar 8 ton ikan kerapu mati akibat tidak bisa dikirim tepat waktu.
“Kami menerima laporan bahwa ada sekitar 8 ton ikan mati karena tidak bisa diberangkatkan melalui kapal. Ini tentu kerugian besar bagi para nelayan,” tuturnya.
Meski demikian, pengawasan terhadap aktivitas ekspor tetap dilakukan secara ketat oleh petugas pengawas perikanan, serta instansi terkait seperti Bea Cukai dan Imigrasi.
Namun, hambatan utama masih berada pada akses pengiriman laut yang belum bisa dipulihkan.
Menurut informasi yang diterima pihaknya, kendala ini berkaitan dengan situasi perdagangan global, khususnya dampak dari ketegangan perang dagang yang mempengaruhi pergerakan kapal dari Hong Kong.
“Informasi terakhir yang kami dapat, ini ada kaitannya dengan perang dagang yang menyebabkan kapal dari Hong Kong tidak bisa kembali ke negara asalnya. Kami sangat berharap hambatan ini segera terselesaikan, karena jika berlarut-larut, ekspor perikanan kita bisa semakin terpuruk,” kuncinya. (*/)
Penulis: Wahyudi
Editor: Ikbal Nurkarim