TANJUNG REDEB, PORTALBERAU – Pemkab Berau masih belum sepenuhnya memanfaatkan potensi blue carbon atau karbon biru, yang sebenarnya bisa memberikan insentif ekonomi yang signifikan bagi daerah.
Potensi yang berasal dari ekosistem laut ini diyakini dapat menjadi sumber pendapatan tambahan jika dikelola dengan baik.
Dalam kesempatannya, Sekretaris Dinas Perikanan (Diskan) Berau, Yunda Zuliarsih, menekankan pentingnya konsep blue carbon dalam menjaga kelestarian ekosistem laut di Berau.
“Blue carbon berasal dari ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Selama ekosistem ini terjaga dengan baik, karbon yang dihasilkan bisa cukup tinggi. Namun, saat ini kita belum bisa sepenuhnya menghitung kontribusi karbon dari ketiga ekosistem tersebut,” ungkap Yunda.
Yunda menjelaskan lebih lanjut bahwa blue carbon berperan penting dalam mendukung konsep blue economy atau ekonomi biru, yang berfokus pada pemanfaatan sumber daya alam laut secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Lanjutnya, ekosistem laut yang sehat, seperti mangrove dan padang lamun, berfungsi sebagai penyerap karbon yang besar, berkontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim, serta memberikan insentif ekonomi yang dapat memperkuat perekonomian daerah.
“Blue economy mencakup pemanfaatan hasil laut secara berkelanjutan, seperti tangkapan ikan yang ramah lingkungan, budidaya tambak yang sesuai dengan pedoman, serta pengelolaan sumber daya alam laut untuk bahan alami,” ujarnya.
Sementara itu, Diskan Berau juga fokus pada pemberdayaan masyarakat pesisir, termasuk pelatihan bagi nelayan dan pembuatan kerajinan tangan yang memanfaatkan sumber daya laut secara bijak, seperti penggunaan sisik penyu untuk aksesoris yang dilarang. Penerapan ekonomi biru yang berkelanjutan sangat penting untuk mendukung blue carbon.
“Ketiga ekosistem ini dapat menyumbang karbon yang sangat besar. Namun, pemanfaatan ekonomi biru harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, seperti penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan budidaya yang sesuai pedoman,” bebernya.
Meski potensi blue carbon belum dapat dijual langsung, Yunda mengungkapkan adanya rencana kerjasama dengan Negara Seychelles yang menggabungkan wisata dengan pemanfaatan blue carbon. Kerjasama ini diyakini akan menjadi langkah penting untuk menghitung potensi karbon yang dihasilkan oleh ekosistem laut Berau.
“Namun, masih ada tantangan yang harus dihadapi, terutama dalam pengelolaan ekosistem laut di Berau,” ucapnya.
Diakuinya, kendala utama yang dihadapi saat ini adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti jaring yang merusak terumbu karang dan penggunaan racun. Selain itu, masih terdapat tambak yang tidak memenuhi standar, seperti yang diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017 tentang budidaya yang baik.
“Beberapa tambak masih berada hanya lima meter dari sungai dan tidak memiliki buffer zone yang cukup. Penggunaan pupuk dan obat-obatan yang tidak ramah lingkungan juga masih ditemukan di beberapa area tambak,” kata Yunda.
Kendati demikian, Yunda tetap optimistis bahwa dengan langkah-langkah yang tepat, ekonomi biru dan blue carbon dapat dikembangkan di Berau. Pihaknya sudah mengambil tindakan nyata, seperti melakukan patroli kelautan untuk melindungi terumbu karang dan mengembangkan tambak ramah lingkungan.
“Mudah-mudahan, dengan dukungan Tim Percepatan Pembangunan Maratua, kita bisa memperoleh insentif dan terus memperbaiki ekonomi biru di Kabupaten Berau,” harap Yunda.
Ia menyebut, mengan luas laut Berau mencapai 1,2 juta hektare dan mangrove sekitar 89.000 hektare, potensi blue carbon di wilayah ini sangat besar. Yunda berharap, dengan upaya yang terus dilakukan, ekosistem laut Berau dapat lebih terjaga dan mendukung pembangunan ekonomi biru yang berkelanjutan di masa depan.
“Diharapkan, upaya yang terus dilakukan ini akan membantu menjaga ekosistem laut Berau dan mendukung pengembangan ekonomi biru yang lebih baik di masa mendatang,” kuncinya. (*/)
Penulis : Wahyudi
Editor : Ikbal Nurkarim