“Sistem barter tidak asing lagi di telinga. Barter merupakan proses tukar-menukar barang antarpenjual dan pembeli, yang digunakan sejak dulu oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Tapi sayang, seiring zaman yang semakin berkembang, tradisi ‘bapanduk’ (sebutan barter dalam bahasa Banjar) sudah mulai dilupakan”
MARTA, BANJARMASIN
Sinaran jingga mulai berkelakar dari ufuk timur. Pertanda matahari siap memulai tugasnya. Cuaca pagi ini, Kamis (18/4/2024), begitu cerah. Embun perlahan menetes, menguap dan meninggalkan sedikit jejak pada daun pisang di seberang jalan menuju dermaga penyeberangan kelotok.
Jam digital yang dikenakan Putri Tsabita di lengan kirinya menunjukkan pukul 06.21 Wita. Masih cukup pagi, meski bisa juga dibilang kesiangan. Karena dermaga penyeberangan kelotok itu sudah sibuk beroperasi sejak pukul 04.00 Wita.
Dermaga penyeberangan ini memang bukan satu-satunya. Tapi paling ramai diminati. Mungkin karena letaknya yang tidak jauh dari jalan raya beraspal. Tentu saja mobil bisa dengan mudah mengantar siapa saja ke sini.
Begitu memasuki pintu dermaga, tidak kurang dari sepuluh kelotok berjejer di atas Sungai Martapura. Aroma solar dari mesin pendorong kelotok tercium kuat. Riuh suara mesin dan manusia seakan menyatu. Memecah hening pagi.
Kurang lebih 30 sampai 35 orang jurnalis dari Kalimantan Timur, menaiki kelotok dengan penuh kehati-hatian. Satu-persatu melangkah menuju kelotok.
Papan jembatan di dermaga penyeberangan itu sudah ada yang sedikit jabuk. Jika dilewati dengan terburu-buru akan mengeluarkan sedikit bunyi yang mengkhawatirkan.
Sang joki kelotok mulai mengarahkan penumpang untuk duduk tenang di bagian atas kendaraan berkapasitas 10-15 orang itu. Sesekali terdengar suaranya mengarahkan pemandu kelotok lain untuk menarik tali pengikat yang disimpulkan pada sebuah tiang kayu. Ada dua kelotok yang berangkat bersamaan kala itu. Dari ritme yang pelan sampai semakin kencang, suara mesin kelotok mendominasi situasi.
Saat mulai menjauhi dermaga penyeberangan, satu kelotok masih sibuk memuat penumpang. Tertinggal cukup jauh dari yang lain.
Perjalanan membelah sungai berwarna kecoklatan itu dimulai pukul 06.50 Wita. Cahaya mentari semakin tegas, membuat objek-objek yang terekam kamera menjadi lebih jelas.
Sepanjang perjalanan menuju Pasar Terapung Lok Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, ragam pemandangan memanjakan lensa kamera para pemburu berita. Sebagian dari mereka mengabadikan momentum di atas kapal dengan ponsel genggamnya. Ada juga yang saling tolong-menolong untuk mengambil gambar diri dengan latar anak Sungai Barito.
Permukiman kumuh khas pinggiran sungai berjejer sepanjang mata memandang. Ada juga beberapa keramba ikan yang sudah berlumut. Gerombolan tanaman air sejenis eceng gondok, menutup sebagian permukaan sungai.
Gelombang yang tercipta dari terjangan kelotok, membuat jukung yang dikendalikan seorang perempuan tua berbaju merah muda terombang-ambing. Ia melempar senyum tatkala kamera mengarah padanya.
Putri Tsabita, perempuan berusia 20 tahun itu tak henti membidik dengan kamera digital Lumix keluaran Panasonic yang tergantung dilehernya. Lensanya kemudian mengarah kepada seorang bapak tua yang mandi bersama dua bocah laki-laki.
Lalu berpindah pada perempuan setengah baya yang mendayung jukung (sebutan perahu dalam bahasa Banjar) melawan arus. Ada juga seorang bocah laki-laki yang menikmati permainan air dengan baskom hitam berukuran lebih besar dari tubuhnya.
“Banyak sudut estetik di sini,” celetuk Tita, sapaan akrab jurnalis Jurnalborneo yang meraih medali perunggu pada cabang karya fotografi, saat bertanding di Pekan Olahraga Wartawan Daerah (Porwada) Kaltim, 2023 lalu itu.
Perjalanan menuju Pasar Terapung Lok Baintan rupanya bukan sebentar. Setidaknya membutuhkan waktu 45 menit untuk sampai pada pasar tradisional ikonis milik Kalimantan Selatan itu.
Tak lama usai lewat di bawah jembatan gantung kecil, suara mesin kelotok mulai mengecil. Jalannya pun semakin melambat. Tandanya sudah sampai di area Pasar Terapung Lok Baintan. Beberapa jukung dengan aneka dagangan di atasnya, berdesakan merapat ke sisi kelotok.
Jika diperhatikan, jukung-jukung itu lebih banyak dikemudikan perempuan. Dari yang berusia sekitar tiga puluh lima hingga setengah baya. Meski ada beberapa lelaki, tapi sangat jarang yang berusia muda. Barang dagangan yang dijajakan di atas jukung cukup beragam.
Mulai pisang mauli (pisang uli), jeruk manis, kue kering dan basah, peyek, hingga daster dan cendera mata miniatur jukung khas warga Banjar.
“Jambu air buah kedondong, kalau sudah cair diborong, dong,” goda seorang pedagang pada pengunjung yang berada di atas kelotok. Kepalanya sedikit mendongak ke atas, karena posisi jukung yang lebih rendah dari kelotok.
Suasana Pasar Terapung Lok Baintan sungguh ramai. Meski hanya ada beberapa jukung pedagang yang masih bertahan hingga pukul 08.30 Wita, tidak mengurangi kemeriahannya.
Acil-acil pedagang terus menyerang pengunjung dengan pantun berbalas pantun. Hal biasa yang menjadi salah satu keunikan di pasar apung itu. Sambil sedikit memaksa dan mengiba, pedagang di Pasar Terapung Lok Baintan tak berhenti menawarkan dagangan mereka. Berusaha sampai pengunjung merogoh lagi saku celana.
“Masih bisa barterkah, Cil?” tanya Tita.
Ia memastikan informasi tentang parktik barter yang sempat didengarnya dari seorang wartawan tua, saat menaiki kelotok di dermaga penyeberangan.
“Oh sudah kada kawa, kada ada lagi bapanduk (Oh sudah tidak bisa, tidak ada lagi barter),” jawab Nurlelah, singkat.
Nurlelah adalah seorang wanita berusia 48 tahun yang merupakan penduduk asli Kota Banjarmasin. Setidaknya, telah 25 tahun ia menekuni aktivitas berdagang di Pasar Terapung Lok Baintan.
Perempuan beranak enam itu menyebut sistem barter yang dulu menjadi alat transaksi sah antarpenjual dan pembeli di Pasar Terapung, kini mulai ditinggalkan. Dulu, barter antarpenjual biasanya dilakukan dengan menukar barang dengan barang.
Tidak harus selalu bernilai sama, namun semua tergantung kesepakatan dan kebutuhan kedua belah pihak. Misalnya barter beras dengan cabai atau gula. Ada juga yang barter minyak goreng dengan beberapa ikat sayuran hijau.
Aktivitas itu kini tergantikan dengan jual beli modern. Pedagang hanya menerima mata uang rupiah sebagai alat tukar yang sah. Barter mulai ditinggalkan karena saat ini hampir semua pedagang bisa membeli kebutuhan mereka sendiri.
Di tahun 2022 lalu, barter masih bisa ditemukan dengan mudah. Namun kurang lebih dua tahun setelahnya, semua seakan memudar perlahan. Meski masih ada beberapa pedagang yang mau menerima barter, tapi lebih banyak yang sudah tidak lagi menerapkannya.
“Ada yang mau tapi paling satu atau dua orang haja (saja) lagi,” ungkapnya sambil menahan jukung agar tidak terpukul menjauh oleh gelombang.
Padahal, tradisi barter di Pasar Terapung yang telah ditetapkan sebagai aset negara pada tahun 1980-an ini, juga menjadi aktivitas menarik dan unik di Kalimantan Selatan. Bahkan keunikannya sudah sampai ke telinga wisatawan kelas mancanegara.
Namun zaman yang semakin berkembang turut memberi kemudahan bagi masyarakat Kalimantan Selatan, meski kehilangan tradisi menjadi risiko yang pasti.
Di tengah memudarnya praktik barter di Pasar Terapung Lok Baintan, digitalisasi transaksi muncul sebagai warna baru. Hal ini dinilai memudahkan pedagang maupun pembeli yang tidak membawa uang tunai saat mengunjungi pasar apung.
“Kalau tidak bawa uang cash bisa pakai QRIS,” ujar Nurlelah menimpali pengunjung yang telah berkali-kali menolak untuk membeli dengan alasan kehabisan uang tunai.
Penggunaan metode pembayaran non tunai di Pasar Terapung seolah menyadarkan pengunjung bahwa teknologi bisa berdampingan rukun dengan tradisi.
Pasar Terapung di Kalimantan Selatan merupakan satu-satunya di Indonesia. Tak hanya menjadi sumber mata pencaharian warga yang bermukim di sekitar sungai, keunikan pasar ini juga menjadi daya tarik wisatawan.
Di musim liburan, pengunjung bisa meningkat dua kali lipat. Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa para pedagang harus mengikuti perkembangan zaman yang lebih memudahkan. Penggunaan uang digital mulai ramai sejak kurang lebih dua tahun terakhir.
Kehadiran Pasar Terapung sangat berperan penting bagi kehidupan masyarakat Banjar yang hidup bersisian dengan 102 sungai (informasi berdasarkan data BPS setempat). Sehingga tidak heran apabila pasar unik ini tetap dipertahankan dari generasi ke generasi.
Meski tersentuh modernisasi dan digitalisasi, namun substansi Pasar Terapung tetap dijaga oleh masyarakatnya.
Satu hal lain yang unik dan tetap menjadi kebiasaan para pelaku usaha di Pasar Terapung Lok Baintan adalah saat proses transaksi jual beli, wajib menggunakan ijab kabul sesuai instruksi pedagang.
“Ulun bepadah menjual, pian bepadah dibeli (Saya bilang menjual, anda bilang dibeli). Supaya tenang rasa hati ini,” ucap seorang pedagang sambil memberikan sebungkus peyek pada pembelinya. Kemudian ia menerima selembar uang kertas berwarna hijau dari atas kelotok.
Meski tradisi barter telah memudar di tengah terpaan modernisasi, namun sungguh Pasar Terapung Lok Baintan memberikan sebuah pembelajaran yang berarti. Bahwa kehidupan akan terus berjalan mengikuti zaman. Dan yang diambil dari setiap perubahan hanyalah kebaikan, yang memberi manfaat bagi kehidupan. (*)